Friday, March 11, 2022

INSPIRASI JUM'AT Kaya atau Serakah


 

Keserakahan, sering juga disebut dengan ketamakan.  Pada umumnya diartikan sebagai keinginan yang sangat besar untuk memiliki kekayaan, barang atau benda, baik yang bernilai maupun tidak bernilai dengan maksud menyimpannya untuk dirinya sendiri, jauh melebihi kenyamanan dan kebutuhan dasar untuk hidup yang berlaku pada umumnya. Pengertian ini diterapkan kepada keinginan yang besar dan mencolok dalam upaya mengejar kekayaan, status social maupun kekuasaan.

Dalam ilmu psikologi keserakahan acapkali digambarkan sebagai jurang tanpa dasar yang menguras energi seseorang dalam upaya tanpa henti untuk memenuhi satu kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan. Egoisme juga dipandang sebagai satu jenis keserakahan. Orang yang serakah adalah budak dari hasrat atau gairahnya, aktivitasnya dalam kenyataannya adalah pasif karena ia dikendalikan;  orang tersebut adalah si penderita, bukan actor.  

Iri hati, kecemburuan, ambisius, dan semua jenis keserakahan adalah hasrat; sebaliknya cinta kasih adalah suatu aktivitas atau tindakan, suatu praktek kekuatan manusia yang mana hanya dapat dipraktekkan dalam kebebasan dan tidak pernah sebagai akibat dari paksaan.  Dalam artian, cinta kasih tak dapat dipaksakan, dan orang yang mencintai sesama tak segan untuk berbagi, berbeda dengan orang yang serakah.

Sementara ajaran agama menganggap, bahwa keserakahan merupakan cinta yang tidak wajar terhadap harta dunia, sedangkan harta dunia hanyalah titipan yang Maha Kuasa, yang setiap saat dapat diambil kembali olehnya. Maka dari itu, agama apapun melarang adanya sifat serakah, karena sifat tersebut menjauhkan diri dari keinginan untuk berbagi kepada sesama.

Sifat serakah pada umumnya, terjadi apabila seseorang ingin memenuhi keinginannya, sebab keinginan seseorang tiada berbatas. Berbeda dengan kebutuhan, yang jelas tampak batas-batasnya. Namun kadangkala seseorang mengalami kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan, sebab saking hebatnya para pedagang, membuat seolah-olah keinginan seseorang sudah merupakan kebutuhan.

Akibatnya kian hari, semakin bertambah orang yang ingin memuaskan segala keinginannya yang acapkali pula keinginan tersebut menggilas kebutuhan orang lain. Bayangkan jika dalam kasus listrik padam, setiap rumah berlomba-lomba membeli lilin sebanyak sepuluh batang, sementara kebutuhan akan lilin cukup dua batanng saja, maka dapat dipastikan sebagian besar penduduk kampung lainnya tak akan kebagian lilin kendatipun hanya satu batang saja.

Oleh sebab itu, keserakahan pada umumnya hanya menimpa orang-orang yang sudah kaya atau hidup berkecukupan.  Rasa ingin berbaginya menghilang entah ke mana.  Tombol di kalkulatornya pun, konon sudah kehilangan lambang "bagi" dan lambang "kurang", yang masih lestari lambang "perkalian" dan lambang "penambah".

Lihatlah orang yang kaya, mereka acapkali menimbun harta, jika pun harus memberi, maka prosentase pemberiannya jauh di bawah harta benda yang dimilikinya.  Bandingkan dengan orang yang tak berpunya, bisa jadi apa yang didapatnya akan dibagi habis kepada orang yang lebih membutuhkan.  Lihatlah sopir angkot pahlawan kita di atas, mendapat sembilan puluh ribu, mendermakan tiga puluh ribu.

Persis seperti kata filsuf Konfisius, "Apabila engkau mendapatkan harta, maka berikanlah sepertiga bagiannya kepada orang yang lebih membutuhkan."

Dan kini, kadangkala kita lupa, harta yang kita dapat senantiasa akan kita kuasai sepenuhnya.  Dalam dunia politik pun demikian, jika kita sudah mendapatkan tampuk kekuasaan, maka kekuasaan tersebut akan kita pertahankan sampai mati, setidaknya akan kita pertahankan mati-matian.





EmoticonEmoticon